Gemericik suara hujan ditambah dengan tiupan angin yang menggoyangkan
daunan, bagaikan lagu merdu yang menghipnotis diri ini untuk semakin
terlelap. “TOK.. TOK.. TOK..”. Antara sadar dan tidak, aku seperti
mendengar ketukan di pintu. TOK, TOK, TOK!. Lalu sebuah suara berteriak.
“Reni… bangun!”. Suara cempreng yang memekakan telinga itu berhasil
membuat tidur cantik ku terganggu. “Iya aku bangun!” ucapku dengan suara
yang tak kalah kencangnya. “Kalau gitu, buka pintunya donk, kamu tega
liat aku berdiri lama di depan pintu kamar kayak patung” teriak heni
dengan nada memelas.
Akhirnya kupaksakan tubuh ini untuk beranjak meninggalkan kasur empuk
yang begitu nyamannya. Sambil berjalan sempoyongan, kubuka pintu dan
kulihat Heni, sahabat dekatku berdiri dengan rambut yang dikuncir tinggi
dan muka masam yang melihatku dengan tatapan heran.
“maaf deh, kamu kan tau kalau aku udah tidur bakal…” belum sempat
melanjutkannya Heni mendorong ku masuk kamar kembali dan menuju ke kamar
mandi. “iya aku tau kamu itu susah dibangunin dan aku juga tau kalau
kamu mandinya cepet. Lebih cepet dari kerbau yang mandi di lumpur, jadi
nggak masalah!” celoteh heni sambil ketawa cekikikan. “ah, apa sih hen”
gerutku di dalam kamar mandi.
Tak lama, sekitar 01:15 aku pun selesai mandi, memang benar kata
Heni. Kubuka pintu kamar mandi, kulihat heni berdiri sambil memegang
baju dan celana jeans lengkap dengan embel-embel yang lain,
dilemparkanya semua hampir mengenai mukaku. “kamu perhatian banget hen,
lebih dari bibi gue” kataku sambil menahan tawa. “udah deh, aku tunggu
kamu di teras, kalau kamu gak selesai dalam waktu 1 menit, aku tinggal”
celotehnya sambil berlalu meninggalkan kamar.
Aku pun selesai dan bergegas turun darri kamar, dan kulihat mama yang
sedang sibuk bergulat dengan komputernya “ma reni pergi dulu ya”.
“makan dulu ren” ucap mama. “gak deh ma, kasian heni udah nugguin lama”
ku cium pipinya dan segera berlari masuk ke dalam mobil yang di dalamnya
heni, yang sudah siap membawa pergi mobilnya untuk menuju rumah evi
untuk menulis tinjauan kepustakaan. “asik kita ke rumah Evi lagi!”
teriak heni kegirangan.
Aku mengerti kenapa heni begitu senang. Rumah evi memang enak banget!
maklum, dia anak gedongan. Di halaman belakangnya ada kolam renang
segala. Ruang belajarnya juga menyatu dengan home theater. Itu sebabnya
Heni begitu senang, aku juga begitu senang karena aku teringat koleksi
film di rumah evi. Seperti aku, ternyata evi itu penggemar film juga!
Banyak sekali tumpukan leser discnya yang bisa kubongkar dan kupinjam.
Evi juga tak melarang kedatangan kami yang terkesan memaksa itu, karena
dia senang sekali kalau dikunjungi orang.
Tak terasa mobil yang dari tadi melaju berhenti di dalam halaman luas
yang dikelilingi bunga-bunga cantik yang tertata dengan rapinya, namun
begitu menginjakan kaki di depan pintu rumahnya, barulah aku menyesali
kedatanganku ke rumah evi, karena aku langsung diingatkan pada alasan
kenapa aku jarang berkunjung ke rumah evi. Di depan pintu rumahnya,
mamanya evi sudah berdiri menyambut kedatangan kami dengan senyum
sumringan. Sasak rambutnya yang tinggi nyaris menyentuh plafon rumah.
Bentunya yang mirip gula kapas warna-warni yang biasa dijual di taman
ria. “Hai, cantik. Ooh kamu bawa temen kamu? komin!”. Seperti anaknya,
mamanya evi juga hobi banget sok berbahasa inggris tapi salah-salah. Dia
ini ibu penjabat, makanya hobi banget nyasak rambut setinggi menara
Eiffel. Kan katanya semakin tinggi rambut seorang ibu penjabat, akan
semakin disegani. Konon, mamanya evi ini pernah kesentrum gara-gara
sasaknnya sampai nyentuh kabel lampu di langit-langit.
Waktu kami sudah nogkrong di ruang belajar alias home theaternya, evi
nyeletuk “Rin, kamu kan suka film kartun. Aku punya disc baru loh.
Judulnya ‘Gi Zu’ ”. Aku pun bingung. You know. Perasaan aku hafal mati
semua film animasi, tapi baru kali ini aku dengar film yang judulnya ‘Gi
Zu’. Apa itu mungkin film animasi Jepang yang belum kudengar? pikirku,
berprasangka baik. Aku pun segera bertanya, “Film apaan tuh, Gi Zu?”.
“Ini lhooo!” sahut evi sambil mengacukan sebuah laser disk. Di covernya,
tertulis gede-gede, “G.I. JOE.”. Aku langsung pusing mendadak.
“Eviiiii!” lengkingku kesal. “Itu bacaanya Ji-Ai-Jo! bukan Gi Zu!”. “Oh,
gitu ya? jiyayo? Kok kaya bahasa Jepang ya, bukan Inggris? Kamu yakin
bacaanya begitu Ren?” sahut Evi kalem, bikin aku langsung gigit-gigit
kuku karena gregetan.
Tiba-tiba mamanya Evi nongol lagi di ruangan belajar itu dengan
suaranya memanggil melengking mendayu-dayu beserta bibirnya yang ditarik
ke belakang, khas ibu-ibu pejabat lagi ngomong, “Evi sayaaang, kamu ada
liat kemeja papa nggak? Yang mereknya Dispenser. Kemana ya tuh
kemeja?”. Merek DISPENSER? pikirku dengan mata berkunang-kunang. Heni
sudah cekikikan di sebelahku. Evi menyahut dengan mulut mengerunyut.
“Mamah ini bikin malu Evi ih! Marks and Spencer, Mamah! Bukan merek
Dispenser!”. “Nah, iya itu. Mana?”. Aku berbisik ke Heni, “Tumben sekali
ini Evi bener,” Heni semakin cekikikan. Evi tampaknya tidak mendengar
kami. “Ada di lemari Mah. Kayaknya si Inah salah taro bajunya.” sahut
Evi menyalahkan pembantunya. “Kayaknya gaya bicara mereka ini turunan
ya,” bisikku lagi. “Aku masih takjub si Evi bisa-bisanya ngomong Inggris
yang bener “Harus kita catat nih Ren. Peristiwa bersejarah nih” jawab
Heni. “Tapi, pasti nggak akan lama Liat aja!” kataku.
Evi pun kembali ke meja kami. “Aku tuh, suka senewen liat mamah,”
curhatnya. “Dia maksa aku jadi dokter, padahal mamah tau kalau aku ini
bodo minta ampun! Ironing ya?”. “Ironis kali Vi,” sahutku sambil melirik
pada Heni seraya tersenyum geli. Tuh kan!. Syukurnya, si Evi itu kurang
sensitif orangnya, jadi celetukanku itu tidak membuatnya sakit hati.
Selagi kami asyik berdiskusi sambil menulis, tiba-tiba mamanya Evi
muncul lagi. Sasak rambutnya kayaknya habis diperbaharui lagi sehingga
terlihat semakin megar. Kalau singa Paddle-pop berhalangan hadir,
mamanya dapat menggantikannya. Kali ini, ia berteriak ke PRT (pembantu
rumah tangga) mereka sambil memegang kardus keci. “Inaaaaah! Taliban
mana?”. Kembali aku dan Heni ternganga. Apa kuping kami tak salah
dengar? Ngapain mamanya Evi minta Taliban. “Taliban, bu?” Inah muncul
sambil garuk-garuk kepala. Aku memandang iba ke Inah. Kasian dia, harus
menghadapi dua majikannya yang penuh teka-teki ini. “Itu lhooo, yang
untuk nutup dan nempelin kardus ini!” jelas mamanya Hani. “Oh, lakban
Bu?”. “Nah iya itu! Mana?”. Aku berdoa dalam hati, Ya Tuhan, kuatkanlah
hati Inah agar dia betah bekerja di sini. Keluarga ini butuh orang
seperti Inah yang pintar untuk menuntun mereka dari kegelapan.”