Posted by : Devva jay Kamis, 19 Februari 2015

Gemericik suara hujan ditambah dengan tiupan angin yang menggoyangkan daunan, bagaikan lagu merdu yang menghipnotis diri ini untuk semakin terlelap. “TOK.. TOK.. TOK..”. Antara sadar dan tidak, aku seperti mendengar ketukan di pintu. TOK, TOK, TOK!. Lalu sebuah suara berteriak. “Reni… bangun!”. Suara cempreng yang memekakan telinga itu berhasil membuat tidur cantik ku terganggu. “Iya aku bangun!” ucapku dengan suara yang tak kalah kencangnya. “Kalau gitu, buka pintunya donk, kamu tega liat aku berdiri lama di depan pintu kamar kayak patung” teriak heni dengan nada memelas.
Akhirnya kupaksakan tubuh ini untuk beranjak meninggalkan kasur empuk yang begitu nyamannya. Sambil berjalan sempoyongan, kubuka pintu dan kulihat Heni, sahabat dekatku berdiri dengan rambut yang dikuncir tinggi dan muka masam yang melihatku dengan tatapan heran.
“maaf deh, kamu kan tau kalau aku udah tidur bakal…” belum sempat melanjutkannya Heni mendorong ku masuk kamar kembali dan menuju ke kamar mandi. “iya aku tau kamu itu susah dibangunin dan aku juga tau kalau kamu mandinya cepet. Lebih cepet dari kerbau yang mandi di lumpur, jadi nggak masalah!” celoteh heni sambil ketawa cekikikan. “ah, apa sih hen” gerutku di dalam kamar mandi.
Tak lama, sekitar 01:15 aku pun selesai mandi, memang benar kata Heni. Kubuka pintu kamar mandi, kulihat heni berdiri sambil memegang baju dan celana jeans lengkap dengan embel-embel yang lain, dilemparkanya semua hampir mengenai mukaku. “kamu perhatian banget hen, lebih dari bibi gue” kataku sambil menahan tawa. “udah deh, aku tunggu kamu di teras, kalau kamu gak selesai dalam waktu 1 menit, aku tinggal” celotehnya sambil berlalu meninggalkan kamar.
Aku pun selesai dan bergegas turun darri kamar, dan kulihat mama yang sedang sibuk bergulat dengan komputernya “ma reni pergi dulu ya”. “makan dulu ren” ucap mama. “gak deh ma, kasian heni udah nugguin lama” ku cium pipinya dan segera berlari masuk ke dalam mobil yang di dalamnya heni, yang sudah siap membawa pergi mobilnya untuk menuju rumah evi untuk menulis tinjauan kepustakaan. “asik kita ke rumah Evi lagi!” teriak heni kegirangan.
Aku mengerti kenapa heni begitu senang. Rumah evi memang enak banget! maklum, dia anak gedongan. Di halaman belakangnya ada kolam renang segala. Ruang belajarnya juga menyatu dengan home theater. Itu sebabnya Heni begitu senang, aku juga begitu senang karena aku teringat koleksi film di rumah evi. Seperti aku, ternyata evi itu penggemar film juga! Banyak sekali tumpukan leser discnya yang bisa kubongkar dan kupinjam. Evi juga tak melarang kedatangan kami yang terkesan memaksa itu, karena dia senang sekali kalau dikunjungi orang.
Tak terasa mobil yang dari tadi melaju berhenti di dalam halaman luas yang dikelilingi bunga-bunga cantik yang tertata dengan rapinya, namun begitu menginjakan kaki di depan pintu rumahnya, barulah aku menyesali kedatanganku ke rumah evi, karena aku langsung diingatkan pada alasan kenapa aku jarang berkunjung ke rumah evi. Di depan pintu rumahnya, mamanya evi sudah berdiri menyambut kedatangan kami dengan senyum sumringan. Sasak rambutnya yang tinggi nyaris menyentuh plafon rumah. Bentunya yang mirip gula kapas warna-warni yang biasa dijual di taman ria. “Hai, cantik. Ooh kamu bawa temen kamu? komin!”. Seperti anaknya, mamanya evi juga hobi banget sok berbahasa inggris tapi salah-salah. Dia ini ibu penjabat, makanya hobi banget nyasak rambut setinggi menara Eiffel. Kan katanya semakin tinggi rambut seorang ibu penjabat, akan semakin disegani. Konon, mamanya evi ini pernah kesentrum gara-gara sasaknnya sampai nyentuh kabel lampu di langit-langit.
Waktu kami sudah nogkrong di ruang belajar alias home theaternya, evi nyeletuk “Rin, kamu kan suka film kartun. Aku punya disc baru loh. Judulnya ‘Gi Zu’ ”. Aku pun bingung. You know. Perasaan aku hafal mati semua film animasi, tapi baru kali ini aku dengar film yang judulnya ‘Gi Zu’. Apa itu mungkin film animasi Jepang yang belum kudengar? pikirku, berprasangka baik. Aku pun segera bertanya, “Film apaan tuh, Gi Zu?”. “Ini lhooo!” sahut evi sambil mengacukan sebuah laser disk. Di covernya, tertulis gede-gede, “G.I. JOE.”. Aku langsung pusing mendadak. “Eviiiii!” lengkingku kesal. “Itu bacaanya Ji-Ai-Jo! bukan Gi Zu!”. “Oh, gitu ya? jiyayo? Kok kaya bahasa Jepang ya, bukan Inggris? Kamu yakin bacaanya begitu Ren?” sahut Evi kalem, bikin aku langsung gigit-gigit kuku karena gregetan.
Tiba-tiba mamanya Evi nongol lagi di ruangan belajar itu dengan suaranya memanggil melengking mendayu-dayu beserta bibirnya yang ditarik ke belakang, khas ibu-ibu pejabat lagi ngomong, “Evi sayaaang, kamu ada liat kemeja papa nggak? Yang mereknya Dispenser. Kemana ya tuh kemeja?”. Merek DISPENSER? pikirku dengan mata berkunang-kunang. Heni sudah cekikikan di sebelahku. Evi menyahut dengan mulut mengerunyut. “Mamah ini bikin malu Evi ih! Marks and Spencer, Mamah! Bukan merek Dispenser!”. “Nah, iya itu. Mana?”. Aku berbisik ke Heni, “Tumben sekali ini Evi bener,” Heni semakin cekikikan. Evi tampaknya tidak mendengar kami. “Ada di lemari Mah. Kayaknya si Inah salah taro bajunya.” sahut Evi menyalahkan pembantunya. “Kayaknya gaya bicara mereka ini turunan ya,” bisikku lagi. “Aku masih takjub si Evi bisa-bisanya ngomong Inggris yang bener “Harus kita catat nih Ren. Peristiwa bersejarah nih” jawab Heni. “Tapi, pasti nggak akan lama Liat aja!” kataku.

Evi pun kembali ke meja kami. “Aku tuh, suka senewen liat mamah,” curhatnya. “Dia maksa aku jadi dokter, padahal mamah tau kalau aku ini bodo minta ampun! Ironing ya?”. “Ironis kali Vi,” sahutku sambil melirik pada Heni seraya tersenyum geli. Tuh kan!. Syukurnya, si Evi itu kurang sensitif orangnya, jadi celetukanku itu tidak membuatnya sakit hati. Selagi kami asyik berdiskusi sambil menulis, tiba-tiba mamanya Evi muncul lagi. Sasak rambutnya kayaknya habis diperbaharui lagi sehingga terlihat semakin megar. Kalau singa Paddle-pop berhalangan hadir, mamanya dapat menggantikannya. Kali ini, ia berteriak ke PRT (pembantu rumah tangga) mereka sambil memegang kardus keci. “Inaaaaah! Taliban mana?”. Kembali aku dan Heni ternganga. Apa kuping kami tak salah dengar? Ngapain mamanya Evi minta Taliban. “Taliban, bu?” Inah muncul sambil garuk-garuk kepala. Aku memandang iba ke Inah. Kasian dia, harus menghadapi dua majikannya yang penuh teka-teki ini. “Itu lhooo, yang untuk nutup dan nempelin kardus ini!” jelas mamanya Hani. “Oh, lakban Bu?”. “Nah iya itu! Mana?”. Aku berdoa dalam hati, Ya Tuhan, kuatkanlah hati Inah agar dia betah bekerja di sini. Keluarga ini butuh orang seperti Inah yang pintar untuk menuntun mereka dari kegelapan.”

Leave a Reply

Subscribe to Posts | Subscribe to Comments

- Copyright © S_BEAST - Blogger Templates - Powered by Blogger - Designed by Johanes Djogan -